Penulis : Akhyar A.Muhsin,Lc
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ : سَمِعْتُ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :" إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ , وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍِ مَا نَوَى , فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ , وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ َامْرَأَةٍِ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ."
Dari Amiril Mukminin, Abu Hafshin, Umar bin Khaththab ia berkata : Aku mendengar Umar bin Khaththab berkhutbah, ia berkata : Aku mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung pada niatnya, dan seseorang akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiap yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang yang dicarinya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ditujunya.”(HR.Bukhari, kitabul iman, bab maa jaa annal a’maal bin niyaatil hasabah walikullimriin maa nawaa’. Dan diriwayatkan pula oleh Muslim , dalam kitabul imarah, bab qauluhu shallallahu ‘alaihi wasallama innamal ‘amaalu bin niyah).
Penjelasan :
Asbaabul wurud hadits
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dengan rangkaian rawi yang tsiqah (kuat dan bisa dipercaya), dari Ibnu Mas’ud, ia telah berkata : Di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita yang dipanggil dengan nama Ummu Qais, namun wanita tersebut menolaknya, kecuali jika laki-laki itu ikut berhijrah ke kota madinah. Kemudian laki-laki itu ikut berhijrah, lalu menikahi wanita tersebut. maka kami pun memberinya julukan Muhaajir Ummi Qais (orang yang berhijrah karena Ummu Qais).
Urgensi hadits
Hadits di atas adalah hadits yang sangat penting dan agung, dimana ia menjadi prinsip dasar agama dan pada hadits tersebut bermuara hukum Islam. Hal itu nampak dari pendapat beberapa tokoh Ulama, seperti Abu Daud yang mengatakan : hadits tersebut adalah setengah dari agama Islam, karena agama pada dasarnya bertumpu pada dua hal, yaitu zhahir atau amal, dan bathin atau niat. Ahmad dan Syafi’I berkata : sepertiga ilmu masuk kedalam hadits tersebut; karena perbuatan mansia meliputi tiga hal, yaitu hati, lisan dan anggota badannya.
Melihat betapa agung nilai yang terkandung dalam hadits di atas, banyak dikalangan Ulama yang mengawali pembicaraan dalam karya-karya besar mereka dengan hadits tersebut, sepertti Imam Bukhari, An-Nawawi dan yang lainnya. Mereka menghendaki, agar para pencari ilmu menyadari betapa pentingnya niat dalam setiap aktifitas mereka, sehingga mereka terdorong untuk senantiasa meluruskan niatnya hanya kepada Allah Azza Wa Jalla.
Menurut hadits di atas, bahwa setiap amal perbuatan harus didasarkan kepada niat, dan nilai suatu amal yang dikerjakan di sisi Allah SWT bergantung kepada niat orang yang mengerjakannya. Jika niatnya baik, maka amalnya akan diterima, sebaliknya kalau niatnya tidak baik, maka amalnya tertolak. Dalam setiap perbuatan yang terpenting adalah keikhlasa, dengan memperindah ibadah tau kebajikan karena Allah semata-mat dan mengharapkan keridlaan-Nya.
Imam Yahya An-Nawawi membai amal yang baik itu kepada tiga macam, yaitu : pertama, amal hamba sahaya, yaitu beramal karena takut kepada Allah SWT. Kedua, amal saudagar, yaitu beramal karena mengharapkan pahala dan supaya kelak masuk ke dalam sorga. Dan ketiga, amal manusia merdeka, yaitu beramal sebagai bakti dan bukti rasa syukur kepada Allah atau beramal sebagai satu kewajiban.(Lihat buku Hadits qudsi, pola pembinaan akhlak Muslim, K.H.M Ali Utsman, penerbit CV. Diponegoro Bandung. hal. 277-278).
Makna niat
Secara etimologi, niat berarti maksud (al-Qashdu). Sedangkan menurut istilah (terminologi), berarti maksud yang disertai dengan perbuatan.(Al-Waafi fi syarhil arba’in an-Nawawiyyah, karya DR. Mushthafa AL-Bugha dan Muhyiddin Mistu, hal. 11-12)
Niat itu tempatnya dalam hati, dan tidak disyaratkan untuk diucapkan oleh lisan dalam semua amal perbuatan, karena Nabi SAW dan para sahabat tidak pernah dalam berwudlu, shalat, shadaqah, haji dan selainnya mengucapkan lafazh niat. Maka barangsiapa yang melafazhkan niat dengan lisan sewaktu hendak melakukan amalnya, dipandang sebagai perbuatan mengada-ada dalam agama.Dan wajib bagi setiap orang agar mengikhlaskan niatnya karena Allah SWT, dan tidak berniat dalam ibadahnya melainkan karena semata-mata mencari ridla-Nya.
Sesungguhnya Allah SWT mengetahui apa yang ada dalam hati manusia, tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, semua maksud dan itikad manusia, yang baik maupun yang buruk, semuanya berada dalam ilmu dan pengawasan Allah Azza Wajalla, sebagaimana dalam firman-Nya,
”Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Ali Imran (3) ayat 29).
Urgensi (ahamiyyah) niat
Niat adalah sesuatu yang menjadi ukuran setiap amal, ia menjadi barometer, apakah suatu amal itu sah atau tidak, diterima atau tidak. Tegasnya setiap perbuatan itu bergantung kepada niat. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya setiap amal itu bergantung pada niatnya, dan seseorang akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.”(HR. Bukhari)
Keutamaan niat yang baik (ikhlas)
Diantara manusia ada yang beramal dengan niat yang sangat tulus (ikhlas), maka ia akan memperoleh pahala yang sempurna disisi Allah SWT, dan ada pula manusia yang beramal dengan niat yang kotor (tidak tulus) maka ia tidak akan mendapatkan pahala disisi Allah SWT.
Apabila seorang telah berniat untuk melakukan suatu kebaikan, namun ia tidak sampai melaksanakannya, dikarenakan sakit yang menimpanya atau meninggal dunia, maka ia tetap akan mendapatkan pahalanya. Adapun seseorang yang berniat untuk melakukan suatu keburukan (kejahatan), namun ia tidak sampai melaksanakannya, dikarenakan sakit yang menimpanya atau meninggal dunia, maka niatnya itu tidak akan dikenai sangsi atau tidak akan dicatat sebagai suatu kejahatan.
Tidak semua orang yang melakukan satu pekerjaan akan memperoleh balasan atau pahala yang sama, mengingat niat diantara mereka yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika orang-orang ramai melaksanakan shalat, semuanya menjalani kaifiyyah yang sama dan bacaan yang sama pula, hal itu belum tentu melahirkan kebaikan yang dijanjikan dalam shalat tersebut bisa sama, manakala mereka memiliki niat yang berbeda. Sebagian jamaah melaksanakan shalat karena ingin dilihat orang lain sebagai ahli ibadah, sebagian mengharapkan pujian dari atasannya sebagai orang yang taat, dan sebagian melaksanakan shalat benar-benar tulus karena Allah, tidak dibarengi dengan niat-niat yang tidak terpuji.
Tentang Hijrah
Hijrah secara bahasa adalah at-Tarku, artinya meninggalkan. Sedangkan menurut istilah syara’, meninggalkan negara kafir menuju negeri Islam karena khawatir akan fitnah (menimpa agama). Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin membagi hijrah kepada tiga macam, yaitu hijrah perbuatan (amal), pelaku dan tempat.
Pertama : hijrah perbuatan (hijrah al-’Amal), yaitu ketika seseorang meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah SWT, baik perbuatan maksiat maupun kefasikan. Rasulullah SAW pernah bersabda :
"Seorang Muslim adalah orang menjadikan kaum Muslimin yang lain selamat dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah."(HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr)
Kadua : hijrah pelaku, yaitu ketika seorang pelaku maksiat yang secara terang-terangan melakukan perbuatannya, maka menurut Ulama pengasingan baginya harus dilakukan, jika memang dalam pengasingannya itu bermanfaat dan maslahat baginya, (jika diharapkan dalam pengasingannya itu dapat merubah kepribadiannya menjadi lebih baik), dan jika sebaliknya, maka pengasingan dirinya tidak disyari’atkan.
Ketiga : hijrah tempat, yaitu pindahnya seseorang dari tempat di mana terdapat banyak kemaksiatan ke tempat yang tidak ada maksiatnya. Itulah yang terjadi pada masa Nabi SAW dan para sahabat, ketika mereka berangkat meninggalkan kota Mekkah dengan tulus ikhlas meninggalkan harta yang disayangi, keluarga yang dicintai menuju kota Madinah dalam rangka memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.(Lihat Al-Waafi fi syarhil arba’in an-Nawawiyyah, karya DR. Mushthafa AL-Bugha dan Muhyiddin Mistu, hal. 13-16)
Makna hadits“Tidak ada hijrah setelah futuh Makkah (penaklukan kota Mekkah)”
Rasulullah SAW bersabda :
”Tidak ada hijrah setelah Futuh (penaklukan kota Mekah) …” (Hadits shahih riwayat Bukhari (2783), dan Musim (1864) dari Siti Aisyah r.a)
Hadits tersebut tidak dipahami secara tektual, tanpa melihat latar belakang atas sebab kelahirannya. Penafian tersebut tidak mengandung pengertian yang umum, bahwa hijrah setelah Futuh Makkah itu sudah tidak teranggap lagi dalam Islam. Kita tahu, semenjak kota Mekkah jatuh kepelukan kaum Muslimin menjadi negeri Islam dan tidak kembali lagi menjadi negeri kafir; karena itulah Nabi SAW menafikan adanya hijrah setelah Futuh Makkah.
Sebelumnya, Mekkah berada dibawah penguasaan orang-orang musyrik, mereka telah mengusir Nabi SAW, para sahabat dan kaum Muslimin yang lain dari kota itu, demi menyelamatkan akidah mereka dari segala macam bentuk tekanan dan ancaman yang dilancarkan kaum musyrikin, sehingga kaum Muslimin berhijrah dengan idzin Allah menuju kota Madinah. Dan setelah delapan tahun lamanya, Nabi SAW dan para sahabatnya berada di pengembaraan, mereka kembali ke kota Mekkah sebagai pemenang dan penguasa. Maka jadilah Mekkah yang sebelumnya negeri kafir menjadi negeri Islam yang aman dan damai; sehingga lahir ucapan Nabi SAW yang menyatakan, bahwa tidak ada lagi hijrah setelah itu.
Wallahu A'lam bish shawwab