Oleh: Akhyar Ash Shiddiq Muhsin
Islam sebagai agama fitrah telah memberikan petunjuk kepada umatnya agar mereka senantiasa saling tolong-menolong atau saling membantu tara sesama manusia dalam urusan-urusan yang sekiranya akan melahirkan kepentingan dan kemaslahatan bersama, terutama dalam urusan-urusan agama, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an: “...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah (5): 2)
Suatu komunitas masyarakat atau sebuah negara akan senantiasa merasakan ketenangan dan kebahagiaan, kehidupan yang damai, terhindar dari konflik antara satu kelompok dengan kelompok yang lain dan terlepas dari bencana, manakala tercipta dalam masyarakat atau negeri tersebut sikap kebersamaan, tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, saling mengingatkan dalam hal-hal negatif yang sudah jelas akan merugikan dan mengakibatkan kemadharatan dalam masyarakat, serta sikap itsar (lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri) yang merupakan bagian dari keharusan hidup bermasyarakat atau bernegara, bahkan hal itu sudah menjadi konsekwensi bagi sebuah masyarakat Muslim.
Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Thaha (9): 71)
Suatu komunitas masyarakat atau sebuah negara akan senantiasa merasakan ketenangan dan kebahagiaan, kehidupan yang damai dan terhindar dari konflik, jika nilai ukhuwwah yang sudah terjalin tetap dipertahankan, keadilan sudah ditegakkan dengan benar, kekuatan hukum tidak lagi dipermainkan oleh pihak-pihak yang bersalah, jika para birokrat, politikus atau orang yang memiliki jabatan tidak menyalah gunakan amanahnya, orang-orang kaya diantara mereka mau peduli terhadap saudara-saudara mereka yang berada dibawah garis keiskinan, harta yang mereka miliki benar-benar dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah SWT (fisabilillah).
Al-Qur’an telah memberikan penegasan bahwasannya, kebahagiaan, kemakmuran dan kekuatan suatu negeri sangat ditentukan oleh keimanan, keshalihan dan ketakwaan setiap individu dari masyarakatnya yang merupakan tonggak atau sebnagai pilarnya. Firman Allah SWT., “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf (7): 96)
Sehubungan dengan soal-soal kemasyarakatan, Rasulullah SAW pernah melukiskan dalam sebuah hadits yang bersifat metafora tentang perlunya tolong-menolong atau kerja sama antara beberapa potensi masyarakat guna menciptakan lingkungan yang damai, kondusif, diliputi dengan kebahagiaan, ketenangan, keberkahan dan kemakmuran.
“Dunia ini laksana sebidang kebun, yang dihiasi dengan lima macam perhiasan, yaitu ilmu orang-orang yang cerdik pandai, keadilan orang-orang yang meiliki kekuasaan, ketekunan hamba-hamba yang taat, kejujuran para pedagang dan pengusaha serta disiplin para karyawan.”
Apabila sebuah masyarakat atau sebuah negara kita umpamakan laksana bangunan, maka kelima unsur yang tersebut dalam hadits diatas merupakan pilar dan tonggaknya. Berikut adalah penjelasan singkat dari kelima unsur tersebut:
1. ORANG-ORANG YANG CERDIK PANDAI
Orang-orang yang cerdik pandai dalam suatu masyarakat atau negara adalah mereka yang terkemuka dalam ilmu dan kecerdasannya, yang diharapkan dapat memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat banyak untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran.
Secara garis besar mereka yang cerdik pandai itu terbagi kepada dua, yaitu mereka yang memiliki ilmu dibidang agama dan kerohaniaan yang lazim disebut dengan ulama, yan g mana mereka adalah pewaris para nabi dan rasul yang mulia, hendaklah mereka menjadi contoh dan tauladan yang baik (qudwah hasanah) dalam kehidupan masyarakat dan bukan sebaliknya. Kedua, mereka yang memiliki ilmu dalam bidang-bidang pengetahuan umum (kaum teknokrat atau para intelek).
Kedua potensi tersebut sama-sama pentingnya, walaupun bidangnya berbeda-beda. Baik para ulama, kaum intelek maupun para teknokrat, hendaklah dapat mempergunakan angerah yang mereka terima itu untuk membangun moral masyarakat, negara dan mempertahankan nilai-nilai agama,, dan jangan sampai mereka gunakan untuk mengelabui ortang awam dan menyesatkan umat, dengan memberikan fatwa-fatwa dan kebijakkan yang merugikan orang banyak. Padahal Al-Qur’an telah memberikan bimbingan kepada kita agar kita selalu menjadi orang-orang yang benar dan jujur. Firman Allah SWT., “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah (9): 119).
Dan pada intinya jangan sampai teknologi yang dikuasai digunakan untuk hal-hal yang mendatangkan kerusakan, dan jangan pula penguasaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits dipergunakan untuk memenangkan yang bathil dan mengalahkan yang benar (al-Haq). Apabila para ulama dan kaum ilmuan tidak lagi berkhidmat dan berpedoman kepada prinsip agama atau nilai tujuan ilmu pengetahuan yang bersipat universal, dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan kemaslahatan sekelompok orang saja, pastilah akan timbul kericuhan, konflik, keributan, dan akhirnya timbul kehancuran.
2. KEADILAN PARA PENGUASA
Sayyid Quthub merumuskan pengertian adil sebagai berikut: “Adil itu merupakan satu sikap yang mutlak, yang tidak menunjukkan kecondongan cinta atau amarah, tidak merubah ketentuan-ketentuan karena kasih sayang atau kebencian. Adil itu tidak mempengaruhi pandangan karena pertimbangan-pertimbangan kekeluargaan, tidak menaruh kebencian antara suatu kaum dengan yang lainnya. Tidak membedakan manusia karena bangsanya, turunannya, hartanya, pangkatnya dan lain sebagainya. Antara yang satu dengan yang lain diperlakukan sama.” (Al-Adalatul Ijtima’iyyah fil Islam)
Para pemimpin atau penguasa harus bersikap adil terhadap semua rakyatnya tanpa pilih kasih dan pandang bulu. Tidak bersikap seperti dikatakan dalam peribahasa, “Tiba dimata di picingkan, tiba diperut dikempiskan”, maknanya kalau seseorang dekat dengan pihak pengusaha atau karena hubungan kekeluargaan, diperlakukan seperti anak mas, sedangkan kalau tidak ada hubungan dengannya, apalagi kalau dianggap sebagai lawan politiknya, maka ia diperlakukan seperti anak tiri, bahkan terkadang ditekan, dijegal ide-ide dan aktivitasnya yang baik.
Islam mengajarkan kepada umatnya, agar sikap adil senantiasa dilakukan secara konsekuen, tanpa mempertimbangkan hubungan, pertalian atau kedudukan seseorang. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa (4): 135)
3. KETEKUNAN HAMBA-HAMBA YANG TAAT
Hamba yang taat dan tekun dalam beribadah, pada umumnya menjadi orang yang baik (shalih), mengerjakan segala perintah yang dibebankan kepadanya, dan menghindarkan diri dari segala bentuk kemaksiatan yang akan menjerumuskan manusia kedalam kebinasaan. Ketaatan beribadah setiap individu masyarakat disatu pihak akan mendatangkan kebahagiaan dan kenikmatan bagi yang melakukannya dalam kehidupan di alam akhirat kelak, sedangkan dalam kehidupannya didunia akan membentuk sikap hidup yang menuntut setiap orang mencapai prestasi dan kebahagiaan.
Kebahagiaan suatu masyarakat dapat ditentukan oleh keshalihan setiap individu dalam masyarakat itu sendiri. Demikian sebaliknya, kehancuran dan kebinasaan disebabkan karena kejatuhan moral masyarakat itu sendiri.Itulah sunatullah yang berlaku dimuka bumi ini. Maka dari itu, hendaknya suatu masyarakat atau bangsa mempersiapkan setiap individu yang ada secara berkualitas baik ilmu, iman maupunketakwaannya, sehingga dapat melahirkan kebahagiaan bagi diri, keluarga, masyarakat bangsa dan agama.
4. PENGUSAHA YANG JUJUR
Islam telah memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mencari rezeki atau keuntungan dengan cara berdagang, niaga, jual beli dan yang selainnya, menurut cara yang dibenarkan oleh syari’at. Berdagang dalam isitilah Al-Qur’an disebut dengan at-Tijaarah dimana didalamnya terdapat aturan main yang telah ditetapkan oleh syari’at, yakni tidak diperkenankan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak dibenarkan (bakhil), tapi ia harus diliputi suasana yang penuh dengan kekeluargaan dan perasaan ridha dari kedua belah pihak. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa (4): 29)
Apabila para pedagang, pengusaha atau saudagar tidak lagi berlaku jujur, maka bangunan masyarakat akan runtuh, akan timbul ditengah-tengah masyarakat krisis ekonomi yang berbuntut kepada krisis sosial yang melahirkan perpecahan, sengketa dan fitnah yang berkepanjangan. Allah SWT telah memberikan ancaman dan kutukan terhadap perbuatan tersebut, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS. Al-Muthaffifin (83): 1-3)
5.KARYAWAN YANG DISIPLIN
Yang dimaksud dengan karyawan dalam hal ini adalah bukan saja terbatas kepada para petugas di sebuah perusahaan atau pabrik, melainkan termasuk didalamnya para pegawai di instansi-instansi pemerintahan. Karyawan yang tidak disiplin (in-disipliner) akan menimbulkan suasana kerja yang acak-acakkan dan administrasai yang kacau balau, sehingga megakibatkan berkurangnya produksi, stagnasi, depisit keuangan perhubungan macet dan lain sebagainya, yang membawa akibat buruk kepaa masyarakat secara umum. Jika sikap tidak disiplin itu terdapat pada pegawai negeri, terlebih yang memegang jabatan-jabatan yang terkenal dengan istilah jabatan basah, seperti bagian perdagangan, imigrasi, dan lain-lain, maka muncullah pungutan-pungutan liar yang menyebabkan segelintir orang menjadi kaya mendadak, sedangkan rakyat kecil merasakan akibat buruknya.
Apabila kelima unsur penegak atau pilar dalam masyarakat itu masing-masing mengemban amanah yang dipikulkan dan dipercayakan diatas pundak mereka, maka akan terlahir masyarakat atau negara yang aman, adil dan makmur yang penuh dengan ampunan Ilahi (Baldatun Thayyibun Wa Rabbun Ghafuur).[]
die *Bulettin Jum’at Al-Mustanir*
Edisi. 027 - Juli 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar